Anak-anak sering Merengek dan Meledak-ledak Emosinya, Wajarkah?
Februari 28, 2018
Tambah Komentar
Faktaanak.com - Hari itu Annisa dan Mama Papanya pergi ke salah satu Pusat Perbelanjaan di Kota Surabaya. Annisa adalah seorang anak perempuan yang berusia 4 tahun. Awalnya jalan-jalan mereka berjalan menyenangkan, setelah Mamanya berbelanja mereka berencana ke foodcourt untuk istirahat, tiba-tiba ketika mereka melewati sebuah toko mainan, entah apa yang dilihatnya tiba-tiba Annisa memberontak dan meminta turun dari gendongan Papanya. Meskipun dengan sedikit panik kedua orangtuanya berusaha menanyainya dengan sabar apa yang diinginkannya, karena kosakatanya belum banyak Annisa hanya berkata “masak” sambil menarik-narik lengan papanya.
Melihat benda yang ditunjuk Anaknya, orangtuanya segera memahami bahwa Annisa menginginkan sebuah mainan cooking set. Namun Mamanya ingat Annisa baru saja meminta mainan sejenis 1 bulan yang lalu. Mamanya pun mencoba memberitahu Annisa bahwa di rumah sudah ada mainan yang sama. Namun yang ada Annisa malah menangis.
Beberapa saat berlalu tangisnya tak reda juga, Papanya yang jengkel hendak menggendong paksa anaknya menjauh dari toko tersebut, namun Annisa malah berulah lagi dengan manangis sambil berguling-guling di lantai. Merasa mengundang perhatian banyak orang, Papanya segera masuk ke toko dan tanpa pikir panjang langsung membelikan mainan keinginan putrinya.
Anak Merengek dan Meledak-ledak Emosinya
Tentu sudah sangat familiar ya kita temui kasus-kasus Annisa yang lain di sekitar kita, terutama untuk para ayah-bunda pastinya sudah cukup “biasa” menghadapi ngambekannya rajukan & rengekan seperti ini ketika buah hati sedang menginginkan / menolak sesuatu, meskipun mungkin tingkah-polah yang dilakukan anak tidak selalu sama & se-ekstrem ilustrasi diatas. Dan sebagai orang dewasa pun dulu kita juga pernah (atau mungkin malah sering) melakukannya.
Tak dapat dipungkiri bahwa memang untuk sebagian orang melihat tingkah anak yang sedang “berulah” seperti Annisa ini pasti akan menimbulkan rasa geram atau jengkel tersendiri. Ungkapan-ungkapan seperti “Anak kok nangis nggak diem-diem” “Anaknya nakal banget sih nggak diturutin malah nangis kayak gitu”, dst. tentu adalah reaksi yang cukup wajar jika muncul.
Namun tingkah anak yang seperti itu apakah dapat dikatakan normal atau tidak normal? Dan apakah anggapan ini benar sebagai “ciri-ciri anak nakal”?
Temper tantrum sebagai Bagian dari Dinamika Dunia Anak-anak
Dikenal dengan istilah Temper Tantrum di dunia perkembangan anak, Tantrum adalah suatu perilaku meluapkan emosi anak yang meledak-ledak dan tidak terkontrol (seperti misal menangis ketika dilarang atau diminta sesuatu, berteriak-teriak, merajuk, dst), perilaku ini sebenarnya masih tergolong normal dan merupakan bagian dari proses perkembangan anak. Umumnya mulai muncul di sekitar usia 2 tahun, dan berangsur berkurang setelah usia 5 tahun, berlangsung sekitar 15 menit dan terjadi tidak lebih dari 5 kali dalam sehari.
Namun ada beberapa kasus Tantrum anak yang terus berlanjut hingga lebih dari usia seharusnya seperti tantrum yang terjadi pada anak berkebutuhan khusus (ABK) Autisme, ADHD, dll. Tantrum yang disertai tindakan melukai diri sendiri, merusak benda di sekitarnya, agresi, kesulitan tidur, perasaan negatif yang persisten dapat merujuk pada suatu gangguan dan perilaku abnormal.
Menjawab pertanyaan. Jadi, apakah anggapan bahwa anak yang mengalami tantrum adalah ciri anak nakal, benar?
Tentu saja jawabannya tidak benar, hal ini dikarenakan makna antara keduanya memiliki perbedaan. Definisi “anak nakal” sendiri sebenarnya sangatlah luas karena istilah itu terbentuk atas adanya justifikasi masyarakat atas pelanggaran norma-norma yang dianggap “benar” di masyarakat, istilah ini juga sangat bergantung pada konteks budaya bukan definisi tingkah lakunya seperti apa, karena perilaku X yang dianggap “nakal” di budaya A bisa jadi dianggap biasa di budaya B.
Sementara perilaku tantrum sendiri adalah suatu kelumrahan pada anak-anak, sehingga perlu ditegaskan lagi bahwa:
“Faktanya tantrum adalah reaksi normal yang ditunjukkan oleh anak-anak usia 2 sampai 5 tahun, namun perlu diwaspadai ketika perilaku tantrum terus berlanjut dalam intensitas dan frekuensi yang tinggi setelah usia 5 tahun”
Apa penyebab munculnya Tantrum?
Dalam beberapa penelitianWatson, Watson & Gebhardt (2010) dari Universitas Miami, Amerika Serikat menunjukkan beberapa kemungkinan alasan munculnya tantrum pada anak yakni:
- Tidak terpenuhinya kebutuhan si anak (ex: sedang mengantuk / lapar)
- Upaya anak untuk mendapatkan perhatian (ex: ketika melihat orangtuanya membagi perhatiannya pada objek atau subjek lain seperti misal telepon)
- Upaya untuk “lari” dari hal-hal yang tidak disukainya (ex: tidak mau tidur siang)
- Suatu bentuk rasa frustasi anak (ex: ketidakmampuannya dalam menyelesaikan suatu permainan)
- Respon atas kecemburuan yang dirasakan anak dalam relasinya dengan sebaya atau saudaranya
- Respon atas ketidakmampuan anak dalam mengungkapkan keinginannya secara verbal.
Tantrum yang normal akan berakhir sejalan dengan perkembangan kematangan emosi dan verbalnya. Dengan kata lain sejalan dengan matangnya emosi dan kemampuan verbal si anak, mereka seharusnya mampu mengungkapkan kebutuhan dan keinginannya secara kata-kata meskipun mereka juga terkadang masih menggunakan tantrum sebagai sarana mendapatkan kebutuhannya, hal ini terjadi karena anak belajar bahwa tantrum adalah salah satu aktivitas yang efektif dan efisien untuk mendapatkan kebutuhannya tersebut.
Bagaimana Orang Tua Seharusnya Bersikap Ketika Menghadapi Tantrum Anak?
Tantrum memang menjadi suatu tantangan tersendiri untuk para orangtua karena harus pandai-pandai dalam mengontrol emosinya sendiri ketika menghadapi buah hatinya yang sedang meledak-ledak emosinya. Dalam hal ini orangtua akan dituntut untuk tidak terbawa suasana.
Akan ada beberapa respon yang mungkin akan ditunjukkan oleh para orangtua ketika menghadapi anaknya yang sedang tantrum 1) ada yang langsung menghentikan tantrum anak dengan memenuhi kebutuhannya, 2) ada yang membiarkan anaknya selama beberapa saat, dan 3) ada juga beberapa orangtua yang tak segan-segan menggunakan kekerasan agar si anak berhenti menangis.
Perlu diperhatikan bahwa penggunaan kekerasan (seperti memukul, menampar, mencubit, dst) sebagai respon atas tantrum anak tidak diperbolehkan, se-kesal atau se-jengkel apapun orangtua pada buah hatinya. Orangtua harus tahu bahwasannya dengan memarahi anak menggunakan kekerasan (baik itu verbal maupun fisik) malah akan memperburuk tantrum anak, bukannya semakin reda namun malah semakin menjadi-jadi. Selain itu juga juga pengalaman kekerasan (sekecil apapun itu) akan sangat mudah diingat dan tercetak di memori anak-anak, dan hal ini akan terus diingatnya hingga dewasa bahkan mungkin menjadi trauma tersendiri.
Kemudian tindakan spontan orangtua yang selalu menuruti apa kata anaknya juga tidak disarankan. Seperti dijelaskan sebelumnya tindakan ini memang akan cepat menghentikan tantrum anak, namun ketika orangtua sering melakukannya maka saat itu juga anak belajar bahwa tantrum adalah senjata yang efektif untuk mendapatkan apa keinginannya. Terjadi suatu efek penguatan perilaku (reinforcement) dimana hal ini berdampak dan menjadi suatu kebiasaan dimana setiap kali dia menginginkan sesuatu dia akan melakukan tantrum terlebih dahulu. Tindakan orangtua ini dapat dilihat pada ilustrasi kasus Annisa, antara malu dan ingin segera mengakhiri tangisan anaknya si ayah tanpa berpikir panjang langsung menuruti apa keinginan putrinya, padahal dikatakan jika di rumah si anak memiliki mainan serupa.
Bagaimana dengan tindakan membiarkan anak selama beberapa saat? Tindakan membiarkan anak selama beberapa saat ini adalah salah satu tindakan yang memang disarankan meskipun penggunaannya tidak bisa jika terlalu sering karena akan menimbulkan efek lain (akan dibahas lebih lanjut).
Namun dari semua “respon yang diharapkan”, yang pertama dan utama tentunya orangtua harus tetap tenang dan sebisa mungkin dengan segala cara mampu mendistraksi / mengalihkan perhatian si kecil yang sedang meluapkan emosinya, bahkan jika mungkin orangtua dianjurkan untuk “mengabaikan” tantrum anak. Karena penyebab tantrum sendiri berbeda-beda maka diperlukan kepekaan orangtua untuk mengenali sebab-sebab itu dan mengambil tindakan apakah akan “menghindari pemicu” atau mungkin membuat jadwal yang jelas (jika kasus tantrumnya diakibatkan oleh adanya rutinitas seperti tidur siang).
Bagaimana Cara Mengatasinya Ketika Tantrum Itu Sudah Terjadi?
1. Menggunakan Strategi Time-out
Seperti yang sedikit diulas sebelumnya, membiarkan anak tantrum selama beberapa saat adalah salah satu upaya untuk menangani kemarahan anak. Dikenal dengan istilah time-out yang digunakan agar si anak dapat tenang dengan sendirinya dan mampu mengeluarkan emosinya selama beberapa saat. Namun penggunaan time-out ini ada aturannya tersendiri, menurut Persatuan Dokter Anak Amerika (2008) time-out yang benar diberikan 1 menit untuk setiap jenjang tahun anak, jadi misalkan anak berusia 2 tahun maka time-out yang baik untuk diberikan adalah 2 menit.
Penggunaan time-out yang terlalu sering juga tidak disarankan karena akan mengurangi ke-efektifan metode time-out itu sendiri. Jika tantrum terjadi di dalam rumah maka orangtua dapat keluar terlebih dahulu dari ruangan tempat anak melakukan tantrum, namun jika terjadi di tempat umum seperti taman atau pusat perbelanjaan maka jika bisa amankan anak terlebih dahulu di tempat yang lebih sepi.
2. Mengabaikan Tantrum dan Melakukan Upaya Pengalihan Perhatian
Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan “mengabaikan tantrum” itu sendiri, bagaimana maksudnya? Orangtua dalam hal ini memposisikan dirinya seolah tidak mengetahui anaknya sedang merajuk, ini diikuti dengan upaya pengalihan perhatian anak ke hal-hal lain, jika tantrum muncul karena disebabkan adanya jadwal rutinitas seperti tidur siang dimana biasanya anak-anak memang tidak menyukainya maka yang perlu dilakukan adalah memberi anak 2 pilihan yang setara, semisal “kamu pilih tidur siang atau mau belajar?” dengan “memaksanya” memilih maka anak akan menunjukkan mana aktivitas yang lebih dipilihnya dan dia pun juga sekaligus belajar kemampuan memutuskan (decision-making skill).
Pada akhirnya, orangtua adalah contoh paling penting dan terbaik bagi anak agar tidak mudah berteriak atau membantah ketika menemui ada hal yang tidak disukainya. Dalam banyak literasi lain, disarankan adanya lima (5) interaksi positif yang harus dibangun orangtua sebagai konsekuensi untuk setiap munculnya tindakan negatif, antara lain menghabiskan waktu sendiri bersama orangtua (untuk membangun ikatan), menyediakan benda seperti stiker dan daftarnya untuk mendapatkan hadiah setiap kali si anak mampu berperilaku menyenangkan, dan memberikan pujian secara verbal seperti berkata “terimakasih sudah berbagi” atau “anak mama dan papa memang suka menolong.”
Anak Adalah Peniru dan Pembelajar
Anak adalah peniru dan pembelajar yang ulung, mereka melakukan sesuatu segera setelah mereka melihatnya. Tantrum sendiri memang merupakan bagian dari pertumbuhan yang sebenarnya tidak perlu dirisaukan selama masih berada dalam rentang usia wajarnya, namun meskipun wajar sebagai orangtua kita tetap perlu mengkondisikan tantrum tersebut agar tidak merugikan si anak suatu hari nanti dengan cara menerapkan pola asuh yang benar. Orangtua dan gaya asuh yang dipilihnya ibarat sebuah pondasi bangunan untuk membuat sebuah gedung pencakar langit agar mampu berdiri tegak, gedung pencakar langit ini adalah anak-anak yang suatu hari nanti akan menjadi orang dewasa yang berdikari.
Oleh karena itu, sebagai orang dewasa dan sekaligus orangtua sangat penting sekali untuk belajar mengenai cara mendidik, mengenali dan menyelami dunia anak, dan mengasuh yang baik, agar orangtua tidak sekedar tahu caranya memenuhi kebutuhan fisik anaknya namun orangtua pun diharapkan mampu memahami, mengerti dan bahkan menjadi “teman” untuk anak-anak mereka sendiri.
Demikianlah tulisan Anak-anak sering Merengek dan Meledak-ledak Emosinya, Wajarkah? yang saya buat, mohon maaf jika ada kesalahan dan terdapat kata-kata yang kurang berkenan di hati pembaca semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat dan kebaikan bagi para pembaca. Penulis dalam artikel ini adalah Novia Kartikasari. Trimakasih.
Belum ada Komentar untuk "Anak-anak sering Merengek dan Meledak-ledak Emosinya, Wajarkah?"
Posting Komentar